Asalamualaikum.. :) di sore yang indah ini aku baru menyelesaikan sebuah essay, tugas dari wali kelasku yang diberikannya minggu lalu. aku tidak begitu mengerti bentuk permintaannya, jadilah, hanya kutulis sesuai kalimat yang bersarang indah(?) diotakku saat ini. berikut kira-kira bentuknya...
**
Namaku Tuti Hardianty. Sudah hampir setahun ini aku menempati kelas XI ipa 1. Awalnya, biasa saja. Lagipula sebagian besar siswa dikelas ini sudah kukenal sebelumnya. Aku menempati kursi nomor tiga di pojok kanan kelas. Ada yang berbeda dari kelas ini. Terasa lebih nyaman, mungkin karena penduduknya kebanyakan anak perempuan?
Aku senang berada di kelas ini. Memang, kadang ada hal menjengkelkan yang terjadi. Yah, tidak jauh jauh dari masalah sekolah, pergaulan, dan yang lain-lainnya lah. Terlepas dari itu semua, mereka semua orang orang yang menyenangkan. Kadang, saat pelajaran kosong, kami berbagi banyak hal. Misalnya, Daus yang sempat mengajari kami membuat simpul, yang ia jadikan sebuah gelang dari benang; atau kami dengan sengaja mengobrol dengan bahasa inggris. Membenarkan pelafalan satu sama lain; atau ketika kami mengobrolkan film holliwood yang baru saja rilis. Banyak hal yang kami diskusikan, banyak hal yang pernah kami debatkan. Tapi toh, kami tetap sebagaimana adanya. Tidak ada pertengkaran atau semacamnya(yang berlarut-larut).
Hanya saja, kadang sedikit kecewa saat teman-teman dikelas tidak kompak. Ada beberapa hal, tapi sudah berlalu. Tapi saat kami kompak, hal yang dilakukan malah aneh dan terkesan nakal. Poster-poster yang beberapa waktu lalu menghiasi dinding belakang kelas adalah ideku dan beberapa teman lainnya. Bahkan sempat melakukan perdebatan yang terkesan ‘nyolot’ kepada pihak Orlando dkk saat memutuskan hal apa yang bagus ditempel di dinding belakang. Namun semuanya usai saat ibu meminta agar kami melepaskannya. Kini poster-poster itu hanya bisa dikenang melalui capture-an notebook Gresia.
Kelas XI ipa 1. Aku cukup bangga melafalkan empat baris kata itu saat orang lain bertanya. Mungkin kami tak sepintar murid-murid kelas lainnya. Tapi aku bangga memiliki keluarga kecil seperti mereka. Kelas XI ipa 1 itu bagiku, seperti aroma pagi yang senantiasa merebak. Menyusup kedalam rongga hidungku hingga bersarang di paru-paru. Memberikan sensasi segar yang dalam. Membuatku yang semalam tidur dengan hati muram, kembali tenang ketika mengetahui pagi ini hingga nanti siang aku akan ada di sana, di ruangan berwarna merah bata yang ku-cat bersama mereka semester lalu. Ruangan yang kini kami hiasi dengan gorden berwarna pink, kuning, dan biru secara berurutan itu. Nampak cantik dilihat dari luar, seperti ada yang menarik untuk dilihat lebih seksama.
Kelas XI ipa 1, bagiku seperti makan pagi, yang kulakukan bersama Novie, Gresia, dan Nova hampir tiap istirahat pertama di kantin. Atau, hanya sekedar jajan. Atau juga, hal yang baru-baru ini kami lakukan. Membawa bekal dan makan bersama dikelas, menarik kursi agar makan dalam satu meja. Membagi makanan bersama, bercerita bersama. Hal yang nampak, namun tanpa kusadari rutin kulakukan bersama mereka.
Di kelas ini, cukup adil, tidak ada yang kepandaiannya sempurna untuk menjadi puncak di sini. Ada yang menguasai Kimia, namun tak sesungguhnya sempurna dalam fisika. Ada yang menguasai Fisika, namun tidak dengan bahasa asingnya. Ada yang pandai bahasa asingnya, namun terlalu lamban dalam eksaknya. Ada yang mendekati sempurna, namun ia tidak menemukan kepingan kesempurnaan di dirinya. Hal ini cukup adil, setidaknya untuk semua.
Apa yang guru berikan di kelas, berupa materi, penjelasan total(maupun tidak), contoh, dan hal-hal lain yang harus kami penuhi untuk melaksanakan kurikulum, tak begitu memberatkan buatku. Hal yang setidaknya membuatku cukup merasa paling bodoh adalah fisika, betapa aku tidak menguasai mata pelajaran ini. Entah karena aku tidak mengerti apa yang dijelaskan guru, atau hanya otakku yang terlalu lamban meresapi setiap baris rumus-rumus itu. Rasanya lebih baik aku ditelan bulat-bulat oleh sang Einstein daripada harus berhadapan dengan soal-soal itu. Aku hanya berharap kepada Tuhan agar ia memberiku sebuah keajaiban jika nanti ujian akhir semester. Agar Tuhan membisikiku rumus-rumus fisika yang dapat kugunakan untuk menyelesaikan tugas akhir di semester kedua ini-nantinya-.
Ngomong-ngomong, bisakah nanti jika ada seorang murid baru(lagi) yang akan diterima kelas ini, setidaknya anak yang sopan dan tidak seenaknya? Benar, lagi-lagi si Dede ini. Sebelum makhluk alien ini memasuki kelas, kami bertanya-tanya seperti apakah orang baru ini. Yang ada dipikiran ku adalah anak laki-laki yang memasuki kelas dengan canggung, memperkenalkan dirinya di depan kelas dengan wajah ragu, dan anggukan ramah saat kami sekelas mencoba menyapanya. Ahh, aku tidak habis pikir membayangkan hal seperti itu. Memang, hari pertama dia masuk masih belum apa-apa. Lagipula aku bukan tipe orang yang sering mengajak orang lain berkenalan lebih dulu-kecuali dalam keadaan yang dibutuhkan-. Anak ini-Dede- buak tipe teman yang cukup baik. Setidaknya tidak cukup baik sebagai orang baru. Boleh saja bersikap sengak dan menjengkelkan, asal masih bisa menghargai lawan bicaranya sebagai orang yang derajatnya sama sepertinya. Sama-sama siswa kelas XI ipa 1 SMAN 1 Murung. Dengan sangat retoris ia menolak kebijakan yang baru diterapkan kepala sekolah hari itu, saat seluruh anggota OSIS diperintahkan melakukan penertiban ke seluruh kelas(sebenarnya bukan penertiban juga, hanya memeriksa). Ia sempat berdebat dengan Fanny saat kami memintanya untuk mengganti sepatu sneakers abu-abunya pada besok hari. Dengan lantang aku menudingnya, “tempatmu bukan di sini jika hanya mengharapkan sesuatu yang kau suka. Lebih baik keluar sekarang karena aku sendiripun jengah dengan kehadiranmu” tuturku tajam(dengan bahasa yang sudah diganti, tentunya) seraya menunjuk ke depan wajahnya. Sayangnya Novie langsung menarikku, benar kata mereka, aku tak perlu repot memikirkan anak itu masih hidup atau tidak setelahnya.
Hal terakhir yang ingin saya ucapkan di tulisan panjang ini, terima kasih karena ibu telah memberikan kesempatan bagi kami sekelas untuk menuangkan pendapat kami dalam bentuk tulisan ini. Entah sudah sesuai harapan ibu atau tidak, saya sekali lagi berterima kasih. Terima kasih juga kepada ibu, selaku wali kelas kami selama ini. Memang ibu jarang masuk, memeriksa keadaan kelas kami, tapi ibu pasti tau kami bisa melengkapi kekurangan kami. Saya berharap, kelas XI ipa 1 nanti terhindar dari hal-hal yang mengecewakan bagi ibu, kepala sekolah, maupun pihak guru lainnya. Kami sadar kami belum sempurna, belum terlalu membanggakan, belum terlalu baik. Tapi saya cukup senang karena kami, setidaknya merasa lengkap.
Sekali lagi saya berterima kasih atas waktu yang ibu berikan untuk membaca kalimat-kalimat saya, hingga sampai akhir sini. Terlalu banyak hal aneh yang saya tulis ya, bu? Saya mohon maaf jika tulisan ini menyinggung bagi pihak pihak tertentu. Semua ini adalah bentuk curhatan, bukan?
Puruk Cahu, 25 Maret 2011
Tuti Hardianti
**
ehmm, ehm... agaaak...... random kali ya? tau lah, aku kalo nulis sesuatu biasanya pake emosi. semoga ibu Lusiani bersedia membaca tulisan ini dengan hati yang lapang(?) bersabarlah bu,, anak-anakmu ini memang ajaib.
sebenernya sih, ini buat guru, ya.. entah kenapa aku berniat posting. tau ah, sesuai mood aja~
Jumat, 25 Maret 2011
Rabu, 23 Maret 2011
Kesukaan Baru ku
aku lagi gila gila nya sama yang namanya boyband korea!! udah tau dari dulu siihh,, tapi entah kenapa lebaynya baru sekarang... oke. mari kita lanjutkan! jadii sekarang aku lagi sibuk sibuknya ngefans sama Super Junior, SHINee, dan 2PM. bukan hanya karena membernya yang oh-cakep-sekali tapi juga karena aku suka lagu lagunya, menghibur dan bikin happy(biarpun ada beberapa yang mellow)
berikut tampang tampang mereka!! :D
ini super junior. lengkap!
berikutnya SHINee...
nah,, ini 2PM.. aku gak terlalu kenal personilnya sih.. tapi dijamin,, lagunya enak didenger
berikut tampang tampang mereka!! :D
ini super junior. lengkap!
berikutnya SHINee...
nah,, ini 2PM.. aku gak terlalu kenal personilnya sih.. tapi dijamin,, lagunya enak didenger
The Way I Love You
ALVIN’s P.O.V.
Ini adalah segelintir kisah tentang kehidupan gue. Perkenalkan sebelumnya, nama lengkap gue Alvin Jonathan Sindunata. Anak bungsu dari 3 bersaudara. Kakak gue cewek semua. Gue punya sahabat, Rio dan Cakka.
Disini gue akan bercerita tentang diri gue sendiri. Harapan hati kecil gue kepada seorang cewek yang mungkin gak akan pernah bisa terwujud. Biar gue ceritakan lebih jauh..
XXX
Hari ini gue dan Rio ada ekskul bola. Dia dan gue emang sama sama suka bola. Beda sama Cakka yang gak biasa olah raga. Jadilah, hari itu gue dan Rio masih di sekolah sedangkan Cakka udah ngacir pulang.
“Vin.. haus nih, beli minum sonoh” perintah Rio layaknya majikan. Gue udah pengen protes, tapi melihat tampang ceking Rio yang udah madesu banget, gue akhirnya nurut.
Pas balik dari kantin, gue mendapati Rio lagi duduk di bawah pohon sambil mesam mesem gak jelas. Gue berasumsi dia habis digauli sama mas-mas warung, atau lagi kesambet setan pohon itu. Setelah berpikir lagi, gue meralat asumsi gue yang pertama. Dia mungkin lagi kesambet.
“Yo.. kesambet lo?” tanya gue pelan, kalau-kalau dia tiba tiba melompat histeris karena kaget sama kedatangan gue.
Rio masih senyum, dia kemudian ngasih isyarat supaya gue ngelihat ke arah anak-anak fotografi yang lagi ngumpul. “liat yang baju biru gak?” kata Rio kemudian. Gue ngangguk. “cantik banget” komentar Rio singkat, masih dengan senyum yang nggak ada manis manisnya itu.
“lo suka sama Shilla?” gue mengerutkan kening. “jadi namanya Shilla?” Rio melototin gue semangat.
“yaelah, biasa aja dong lo. Masa lo nggak kenal? Dia kan seangkatan kita dari SMP” kata gue acuh sambil memperbaiki tali sepatu gue.
“gak tau deh.. gue lupa kayaknya. Kenalin gue dong Viin...”
“gue juga gak begitu kenal. Kenalan sendiri dah sonoh” Rio manyun. Habis itu kita main bola lagi. Tapi satu hal yang gue tau. Rio gak bener bener ngelupain pembicaraan kita tadi. Dia naksir berat sama cewek ini, Ashilla Zahrantiara.
Setelah kejadian itu, Rio makin sering ngomongin Shilla. Dia bahkan dapet nomor hp nya dari seorang teman yang satu klub sama Shilla. Gue sendiri menanggapinya dengan biasa. Paling ikut nge-cie-in kalo Rio-Shilla papasan. Tapi gue tetep dukung sahabat gue ini buat ngedapetin Shilla. Yak, perlu kalian tau aja, Rio ini tipe cowok yang masih polos. Dia baru dua kali pacaran, tipe cowok yang taat agama dan smart. Diantara kita bertiga(gue-Rio-Cakka) Rio-lah yang otaknya paling encer. Dan yang paling polos. Biarpun dia suka setengah mampus sama Shilla, tapi gue tau, dia gak bisa nembak cewek ini. Alhasil, gue dan Cakka pun harus turun tangan.
“...makanya Yo, kita berdua gak mau lo gagal seperti sebelumnya. Paling enggak, lo PDKT sama Shilla dengan cara yang benar dan tepat” kata Cakka sebelum menggigit bakwan ketiga nya. Gue ngangguk setuju.
“kalian emang sohib terbaik gue...” kata Rio terharu, yang kesannya malah agak berlebihan menurut gue.
XXX
Dengan dimulainya PDKT Rio-Shilla, gue dan Cakka pun akhirnya ikut akrab sama Shilla. Terutama gue. Dalam banyak kesempatan, gue dan Shilla sering ngobrol beberapa menit. Kebanyakan ngomongin soal Rio. Dan kita mulai akrab kayak temen. Menurut gue sih, gak ada yang spesial juga, gue nganggep dia temen, begitu sebaliknya. Lama kelamaan, gue-Shilla mulai nyambung. Kita suka baca buku-buku Raditya Dika, cheese dan lemon. Bedanya, gue suka bola, dan dia enggak. Dia dan Rio sama sama penggemar Band Kerispatih, karena suka lagu dan suaranya Sammy. Itu yang gue tau.
Tapi nampaknya, PDKT antara Rio dan Shilla kurang berjalan mulus. Rio tiba tiba balikan sama mantan pertamanya, Ify. Anak kelas sepuluh. Gue sendiri masih pacaran sama Zahra, temen les piano gue. Dan dengan ini, PDKT antara Rio-Shilla mulai hilang. Gue inget, Rio pernah minta pendapat gue.
“Vin, gimana ya... gue bingung antara Ify dan Shilla. Gue udah kepalang tanggung sama Shilla. Tapi gue juga gak bisa boong, gue sayang sama Ify. Dia cinta pertama gue, cewek pertama yang bikin gue ngerasain cinta..” ungkap Rio serius. Gue manggut manggut, mencoba mencerna kalimat Rio tadi. Mencoba, membantu sahabat gue ini memecahkan masalahnya.
“menurut gue,, semuanya balik lagi ke elo. Kalo lo ngerasa Shilla lebih cocok sama elo, seharusnya lo jangan balikan sama Ify. Itu sama aja lo menjebak diri lo sendiri. Mending lo jalanin hubungan lo sama Ify. Toh, kalo lo jodoh sama Shilla, nantinya juga akan jadian kan?” komentar gue sok bijak. Rio mengangguk mantap. “thanks Vin, gue ngerti” katanya mantap.
Dan semenjak itu, pembicaraan kita mengenai Shilla juga mulai berkurang. Gue akui, Shilla emang tipe cewek idaman. Cantik, tinggi, putih, dan senyumnya manis. Mungkin itulah yang bikin dia kelihatan ramah. Dia selalu ngasih senyum ke tiap orang yang dia kenal kalo lagi papasan sama dia. Tapi senyumnya ke Rio beda. Bukan sekedar senyum doang. Tapi senyum yang seakan berkata ‘gue seneng bisa ketemu elo’
XXX
Setahun berlalu, kita semua udah sama sama kelas tiga. Ify dan Rio udah lama putus. Sekarang Rio punya cewek baru, namanya Sivia anak SMA 18, gue dan Rio sekolah di SMA Nusa 1. Gue sendiri udah lama putus sama Zahra. Sempet deket sama beberapa cewek, tapi gak satupun jadi pacar gue. Dan... sampailah kita di event terakhir kita sebagai anak anak kelas tiga. Acara Perpisahan atau lebih dikenal dengan Prom. Tahun-tahun lalu, mereka rata - rata bikin party. Dari mulai pesta kostum, pesta topeng, macem – macem deh. Dan sekarang, di acara ini, kita mau bikin romantic prom. Gue sebagai salah satu panitia juga ikut andil buat mensukseskan acara ini.
Sampai, malam itu gue udah siap. Dengan jas hitam, kemeja putih garis garis merah yang lengannya gue lipat sampai siku. Celana jeans hitam dan sepatu keds putih gue. Nggak lupa ID Card Panitia yang menggelayut indah di leher gue sejak tadi sore.
Gue baru aja selesai ngeprint naskah pidato ketua panitia yang akan gue serahkan secepatnya ke Bastian. Tapi gue berhenti sebentar. Gue liat Shilla, naik panggung sambil bawa gitar akustiknya. Dia mau nyanyi! Pikir gue. Gue buru buru nyamperin Bastian dan ngasih naskah itu. Kemudian dengan langkah cepat nyari tempat yang pewe buat nyaksiin Shilla nyanyi.
Dia udah duduk, mulai metik gitarnya pelan. Matanya kemana mana, kayaknya dia grogi. Sampai dia liat gue, dia ngasih tatapan yang sulit gue artikan, antara mau senyum dan gugup, mungkin. Yang gue ngerti, dia lagi nervous. Mulailah, di belakangnya ada Ify dan Obiet yang lengkap dengan keyboard dan biola. Shilla mulai nyanyi, dia milih lagu ‘Back To December’ dari Taylor Swift. Suaranya enak banget men! Nggak begitu cempreng juga, walaupun masih dengan tampang nggak pede dan nervousnya.
Selesai dia nyanyi, gue dipanggil Bastian lagi, disuruh kerja. Hhh...emang susah jadi cowok. Kebetulan gue papasan sama Shilla di backstage, “gue gugup banget, pasti suara gue jelek deh” katanya pelan. “lo bagus kok” gue berusaha nyemangatin, sayangnya gue harus buru buru kerja. Gue kepikiran terus sama Shilla.
Beberapa hari sebelumnya, kita pernah ngobrol singkat waktu papasan di depan mading, ngomongin soal buku barunya Raditya Dika. “lo udah punya bukunya Radit belom?” katanya kala itu. “belom, emang ada?” sahut gue.
“ih, ada tauu....” Shilla ngasih tampang manyun, “kalo lo udah beli, gue pinjem yah” katanya, dia nyengir. “yee... niatnya minjem” sembur gue kesel. Dia lalu pamit ke kelasnya. Dan sampai tadi siang pun, kalo ketemu gue pasti nyuruh beli buku itu. Dasar.
XXX
Besoknya, kita bertiga lagi ngumpul di kantin. Ngomongin soal Shilla tadi malem. Kita emang udah bikin acara perpisahan men, tapi kita belom bener bener hengkang dari sekolah ini. Kita masih dibolehkan hadir ke sekolah sebelum pengumuman kelulusan.
“gue nggak tau dia punya suara sebagus itu..” komentar Rio. Ini emang perasaan gue aja, atau Rio lagi ngebayangin Shilla tanpa ngedip?
“beghh... udah begini aja lo, naksirrr...!” cibir Cakka. Gue mengangguk setuju. “dilema lagi deh elo, Yo” kata gue.
“haahhhh.... nggak tau deh” Rio menelungkupkan wajahnya di meja kantin. Gue dan Cakka sama sama mengangkat bahu.
“Yo, Yo.... Shilla” Cakka menyenggol lengan Rio, dia langsung mengangkat kepalanya. Shilla, yang sebenernya berjarak gak terlalu jauh, Cuma ngelempar senyum. Kayak biasa dia lakukan. Tapi yang ini beda. Shilla biasa senyum ke gue kalo lagi papasan itu bisa bikin gue melting. Dan senyumnya selalu sama. Senyum yang sama kalo gue ketemu dia. Tapi kalo ke Rio, senyumannya lain. Lebih... tulus. Mungkin dengan perasaan cinta yang tak tersampaikan. Hanya dengan itu, gue tau. Gue tau dengan pasti, kalau senyuman itu Cuma milik Rio.
“samperin Yo...” bisik Cakka yang masih bisa gue denger. Rio ngeliat ke arah kami berdua, gue dan Cakka udah masang tampang meyakinkan. Dia malah angkat bahu, “gue nggak enak tiba tiba nyamperin dia..” kata Rio pelan.
XXX
Malemnya, gue masih kepikiran Shilla. Gue kemudian mencoba menelpon ke handphone nya. Tapi nggak aktif. Gue ngambil kesimpulan dia udah ganti nomor. Gue kemudian online twitter dan mengiriminya DM: ‘hey, marmut pink. Bagi nomer lo dong.’
Gak sampai setengah jam, dia udah ngebalas, ‘nih, mutun. 0811xxxxxxx n,n’
Sial. Dia manggil gue mutun. Gak lama, gue sms dia. Protes dengan sebutan ‘mutun’ nya. Ini bukan pertama kali gue sms-an sama dia. Sebelumnya udah pernah, tapi udah cukup lama. Di satu kesempatan, dia nanyain Rio sama gue. Dia bilang ‘eh, mutun, Mario ganti nomer ya?’ jari gue kaku. Seketika gue sadar, gue dan dia hanya sebatas teman yang sama sama suka baca bukunya Raditya Dika. Gak ada hubungan spesial. Gue ngetik cepat, ngebalas sms Shilla tadi. ‘iya, dia ganti. Lo mau gue kirimin nomernya?’
Gue nggak mau langsung ngirimin nomer Rio. Gak rela. Itu yang gue rasain. Jatuh cinta emang egois, kita bahkan berusaha sekuat mungkin untuk gak mengingat teman, sahabat, ataupun saudara kita. Seperti gue saat ini. Tapi gue juga ingin sekuat tenaga menekan rasa egois itu. Bukan. Bukan dengan gue yang dia mau. Gue harus berterima kasih sama Tuhan udah bikin gue dan dia menjadi teman baik. Walaupun nggak akrab banget, tapi seenggaknya kita bisa mengobrol santai. Dia bisa berbagi banyak hal dengan gue. Dan gue, bisa membagi cerita gue sama dia. Bukan, bukan yang itu. Cerita tentang cinta diam-diam gue sama dia biar gue simpan sendiri.
Memikirkan ini, mengingatkan gue sama salah satu buku dari Raditya Dika. Di salah satu bab nya, ada cerita tentang bagaimana dia jatuh cinta setengah mampus sama seorang cewek. Keadaannya hampir sama, sama gue. Yang pada akhirnya, dia dan cewek itu nggak berakhir jadi apa apa. Tetap di jalannya masing masing. Karena, seperti yang sering kita dengar, ‘cinta gak bisa dipaksain’. Begitupun antara Radit dan cewek ini (Ina) gak jauh beda sama gue dan Shilla. Biar gimanapun gue mencoba membuat Shilla menyadari, ada gue disini, buat dia. Mencoba memberitahukan isi hati gue secara tidak langsung. Tapi keadaan akan tetap sama. Karena gue tau, dia hanya bisa melihat lebih jelas ke arah Rio. Bukan gue...
XXX
Yak. Itu tadi secuplik kisah gue, yang akhirnya mampu gue bagi ke kalian. Ini hanya cerita biasa, yang mungkin kalian dengar dari teman, orang tua, atau yang lainnya. Dan dari tulisan ini, gue menyadari, suka atau ehm cinta, memang bisa mengoyak batin. Kita bisa bertindak egois saat jatuh cinta. Gak ada hal yang sempurna di dunia ini. Bahkan jatuh cinta sekalipun. Tapi apa salahnya untuk terus jatuh cinta? Gak ada yang salah bila kita mencintai, sekalipun dapat menyakiti orang lain. Dan hingga saat ini, hingga nanti, gue berharap bisa terus merasakan cinta. Dan apabila cewek ini memang bukan ditakdirkan Tuhan untuk berada disisi gue, gue akan berusaha melupakan dia. Gue berharap, Tuhan mempertemukan gue dengan orang itu kelak. Karena gue yakin, pada saatnya gue akan bertemu dengan orang itu, orang yang benar benar hadir untuk gue. Yang bisa tersenyum ke arah gue, seperti Shilla tersenyum pada Rio. Yang mencintai gue tanpa syarat, dan begitupun gue ke orang itu.
****************
Terimakasiihh buat yang bersedia baca dan komen. Mohon kritik dan sarannya. Saya sadar tulisan ini emang gak ada bagus-bagusnya. Big thanks buat yang sudah baca… mohon maaf kalau tulisan ini menyinggung dan tidak berkenan dihati pembaca sekalian *bahasa gueee,, kewl*
Sekali lagi… terima kasiiihh
Ini adalah segelintir kisah tentang kehidupan gue. Perkenalkan sebelumnya, nama lengkap gue Alvin Jonathan Sindunata. Anak bungsu dari 3 bersaudara. Kakak gue cewek semua. Gue punya sahabat, Rio dan Cakka.
Disini gue akan bercerita tentang diri gue sendiri. Harapan hati kecil gue kepada seorang cewek yang mungkin gak akan pernah bisa terwujud. Biar gue ceritakan lebih jauh..
XXX
Hari ini gue dan Rio ada ekskul bola. Dia dan gue emang sama sama suka bola. Beda sama Cakka yang gak biasa olah raga. Jadilah, hari itu gue dan Rio masih di sekolah sedangkan Cakka udah ngacir pulang.
“Vin.. haus nih, beli minum sonoh” perintah Rio layaknya majikan. Gue udah pengen protes, tapi melihat tampang ceking Rio yang udah madesu banget, gue akhirnya nurut.
Pas balik dari kantin, gue mendapati Rio lagi duduk di bawah pohon sambil mesam mesem gak jelas. Gue berasumsi dia habis digauli sama mas-mas warung, atau lagi kesambet setan pohon itu. Setelah berpikir lagi, gue meralat asumsi gue yang pertama. Dia mungkin lagi kesambet.
“Yo.. kesambet lo?” tanya gue pelan, kalau-kalau dia tiba tiba melompat histeris karena kaget sama kedatangan gue.
Rio masih senyum, dia kemudian ngasih isyarat supaya gue ngelihat ke arah anak-anak fotografi yang lagi ngumpul. “liat yang baju biru gak?” kata Rio kemudian. Gue ngangguk. “cantik banget” komentar Rio singkat, masih dengan senyum yang nggak ada manis manisnya itu.
“lo suka sama Shilla?” gue mengerutkan kening. “jadi namanya Shilla?” Rio melototin gue semangat.
“yaelah, biasa aja dong lo. Masa lo nggak kenal? Dia kan seangkatan kita dari SMP” kata gue acuh sambil memperbaiki tali sepatu gue.
“gak tau deh.. gue lupa kayaknya. Kenalin gue dong Viin...”
“gue juga gak begitu kenal. Kenalan sendiri dah sonoh” Rio manyun. Habis itu kita main bola lagi. Tapi satu hal yang gue tau. Rio gak bener bener ngelupain pembicaraan kita tadi. Dia naksir berat sama cewek ini, Ashilla Zahrantiara.
Setelah kejadian itu, Rio makin sering ngomongin Shilla. Dia bahkan dapet nomor hp nya dari seorang teman yang satu klub sama Shilla. Gue sendiri menanggapinya dengan biasa. Paling ikut nge-cie-in kalo Rio-Shilla papasan. Tapi gue tetep dukung sahabat gue ini buat ngedapetin Shilla. Yak, perlu kalian tau aja, Rio ini tipe cowok yang masih polos. Dia baru dua kali pacaran, tipe cowok yang taat agama dan smart. Diantara kita bertiga(gue-Rio-Cakka) Rio-lah yang otaknya paling encer. Dan yang paling polos. Biarpun dia suka setengah mampus sama Shilla, tapi gue tau, dia gak bisa nembak cewek ini. Alhasil, gue dan Cakka pun harus turun tangan.
“...makanya Yo, kita berdua gak mau lo gagal seperti sebelumnya. Paling enggak, lo PDKT sama Shilla dengan cara yang benar dan tepat” kata Cakka sebelum menggigit bakwan ketiga nya. Gue ngangguk setuju.
“kalian emang sohib terbaik gue...” kata Rio terharu, yang kesannya malah agak berlebihan menurut gue.
XXX
Dengan dimulainya PDKT Rio-Shilla, gue dan Cakka pun akhirnya ikut akrab sama Shilla. Terutama gue. Dalam banyak kesempatan, gue dan Shilla sering ngobrol beberapa menit. Kebanyakan ngomongin soal Rio. Dan kita mulai akrab kayak temen. Menurut gue sih, gak ada yang spesial juga, gue nganggep dia temen, begitu sebaliknya. Lama kelamaan, gue-Shilla mulai nyambung. Kita suka baca buku-buku Raditya Dika, cheese dan lemon. Bedanya, gue suka bola, dan dia enggak. Dia dan Rio sama sama penggemar Band Kerispatih, karena suka lagu dan suaranya Sammy. Itu yang gue tau.
Tapi nampaknya, PDKT antara Rio dan Shilla kurang berjalan mulus. Rio tiba tiba balikan sama mantan pertamanya, Ify. Anak kelas sepuluh. Gue sendiri masih pacaran sama Zahra, temen les piano gue. Dan dengan ini, PDKT antara Rio-Shilla mulai hilang. Gue inget, Rio pernah minta pendapat gue.
“Vin, gimana ya... gue bingung antara Ify dan Shilla. Gue udah kepalang tanggung sama Shilla. Tapi gue juga gak bisa boong, gue sayang sama Ify. Dia cinta pertama gue, cewek pertama yang bikin gue ngerasain cinta..” ungkap Rio serius. Gue manggut manggut, mencoba mencerna kalimat Rio tadi. Mencoba, membantu sahabat gue ini memecahkan masalahnya.
“menurut gue,, semuanya balik lagi ke elo. Kalo lo ngerasa Shilla lebih cocok sama elo, seharusnya lo jangan balikan sama Ify. Itu sama aja lo menjebak diri lo sendiri. Mending lo jalanin hubungan lo sama Ify. Toh, kalo lo jodoh sama Shilla, nantinya juga akan jadian kan?” komentar gue sok bijak. Rio mengangguk mantap. “thanks Vin, gue ngerti” katanya mantap.
Dan semenjak itu, pembicaraan kita mengenai Shilla juga mulai berkurang. Gue akui, Shilla emang tipe cewek idaman. Cantik, tinggi, putih, dan senyumnya manis. Mungkin itulah yang bikin dia kelihatan ramah. Dia selalu ngasih senyum ke tiap orang yang dia kenal kalo lagi papasan sama dia. Tapi senyumnya ke Rio beda. Bukan sekedar senyum doang. Tapi senyum yang seakan berkata ‘gue seneng bisa ketemu elo’
XXX
Setahun berlalu, kita semua udah sama sama kelas tiga. Ify dan Rio udah lama putus. Sekarang Rio punya cewek baru, namanya Sivia anak SMA 18, gue dan Rio sekolah di SMA Nusa 1. Gue sendiri udah lama putus sama Zahra. Sempet deket sama beberapa cewek, tapi gak satupun jadi pacar gue. Dan... sampailah kita di event terakhir kita sebagai anak anak kelas tiga. Acara Perpisahan atau lebih dikenal dengan Prom. Tahun-tahun lalu, mereka rata - rata bikin party. Dari mulai pesta kostum, pesta topeng, macem – macem deh. Dan sekarang, di acara ini, kita mau bikin romantic prom. Gue sebagai salah satu panitia juga ikut andil buat mensukseskan acara ini.
Sampai, malam itu gue udah siap. Dengan jas hitam, kemeja putih garis garis merah yang lengannya gue lipat sampai siku. Celana jeans hitam dan sepatu keds putih gue. Nggak lupa ID Card Panitia yang menggelayut indah di leher gue sejak tadi sore.
Gue baru aja selesai ngeprint naskah pidato ketua panitia yang akan gue serahkan secepatnya ke Bastian. Tapi gue berhenti sebentar. Gue liat Shilla, naik panggung sambil bawa gitar akustiknya. Dia mau nyanyi! Pikir gue. Gue buru buru nyamperin Bastian dan ngasih naskah itu. Kemudian dengan langkah cepat nyari tempat yang pewe buat nyaksiin Shilla nyanyi.
Dia udah duduk, mulai metik gitarnya pelan. Matanya kemana mana, kayaknya dia grogi. Sampai dia liat gue, dia ngasih tatapan yang sulit gue artikan, antara mau senyum dan gugup, mungkin. Yang gue ngerti, dia lagi nervous. Mulailah, di belakangnya ada Ify dan Obiet yang lengkap dengan keyboard dan biola. Shilla mulai nyanyi, dia milih lagu ‘Back To December’ dari Taylor Swift. Suaranya enak banget men! Nggak begitu cempreng juga, walaupun masih dengan tampang nggak pede dan nervousnya.
Selesai dia nyanyi, gue dipanggil Bastian lagi, disuruh kerja. Hhh...emang susah jadi cowok. Kebetulan gue papasan sama Shilla di backstage, “gue gugup banget, pasti suara gue jelek deh” katanya pelan. “lo bagus kok” gue berusaha nyemangatin, sayangnya gue harus buru buru kerja. Gue kepikiran terus sama Shilla.
Beberapa hari sebelumnya, kita pernah ngobrol singkat waktu papasan di depan mading, ngomongin soal buku barunya Raditya Dika. “lo udah punya bukunya Radit belom?” katanya kala itu. “belom, emang ada?” sahut gue.
“ih, ada tauu....” Shilla ngasih tampang manyun, “kalo lo udah beli, gue pinjem yah” katanya, dia nyengir. “yee... niatnya minjem” sembur gue kesel. Dia lalu pamit ke kelasnya. Dan sampai tadi siang pun, kalo ketemu gue pasti nyuruh beli buku itu. Dasar.
XXX
Besoknya, kita bertiga lagi ngumpul di kantin. Ngomongin soal Shilla tadi malem. Kita emang udah bikin acara perpisahan men, tapi kita belom bener bener hengkang dari sekolah ini. Kita masih dibolehkan hadir ke sekolah sebelum pengumuman kelulusan.
“gue nggak tau dia punya suara sebagus itu..” komentar Rio. Ini emang perasaan gue aja, atau Rio lagi ngebayangin Shilla tanpa ngedip?
“beghh... udah begini aja lo, naksirrr...!” cibir Cakka. Gue mengangguk setuju. “dilema lagi deh elo, Yo” kata gue.
“haahhhh.... nggak tau deh” Rio menelungkupkan wajahnya di meja kantin. Gue dan Cakka sama sama mengangkat bahu.
“Yo, Yo.... Shilla” Cakka menyenggol lengan Rio, dia langsung mengangkat kepalanya. Shilla, yang sebenernya berjarak gak terlalu jauh, Cuma ngelempar senyum. Kayak biasa dia lakukan. Tapi yang ini beda. Shilla biasa senyum ke gue kalo lagi papasan itu bisa bikin gue melting. Dan senyumnya selalu sama. Senyum yang sama kalo gue ketemu dia. Tapi kalo ke Rio, senyumannya lain. Lebih... tulus. Mungkin dengan perasaan cinta yang tak tersampaikan. Hanya dengan itu, gue tau. Gue tau dengan pasti, kalau senyuman itu Cuma milik Rio.
“samperin Yo...” bisik Cakka yang masih bisa gue denger. Rio ngeliat ke arah kami berdua, gue dan Cakka udah masang tampang meyakinkan. Dia malah angkat bahu, “gue nggak enak tiba tiba nyamperin dia..” kata Rio pelan.
XXX
Malemnya, gue masih kepikiran Shilla. Gue kemudian mencoba menelpon ke handphone nya. Tapi nggak aktif. Gue ngambil kesimpulan dia udah ganti nomor. Gue kemudian online twitter dan mengiriminya DM: ‘hey, marmut pink. Bagi nomer lo dong.’
Gak sampai setengah jam, dia udah ngebalas, ‘nih, mutun. 0811xxxxxxx n,n’
Sial. Dia manggil gue mutun. Gak lama, gue sms dia. Protes dengan sebutan ‘mutun’ nya. Ini bukan pertama kali gue sms-an sama dia. Sebelumnya udah pernah, tapi udah cukup lama. Di satu kesempatan, dia nanyain Rio sama gue. Dia bilang ‘eh, mutun, Mario ganti nomer ya?’ jari gue kaku. Seketika gue sadar, gue dan dia hanya sebatas teman yang sama sama suka baca bukunya Raditya Dika. Gak ada hubungan spesial. Gue ngetik cepat, ngebalas sms Shilla tadi. ‘iya, dia ganti. Lo mau gue kirimin nomernya?’
Gue nggak mau langsung ngirimin nomer Rio. Gak rela. Itu yang gue rasain. Jatuh cinta emang egois, kita bahkan berusaha sekuat mungkin untuk gak mengingat teman, sahabat, ataupun saudara kita. Seperti gue saat ini. Tapi gue juga ingin sekuat tenaga menekan rasa egois itu. Bukan. Bukan dengan gue yang dia mau. Gue harus berterima kasih sama Tuhan udah bikin gue dan dia menjadi teman baik. Walaupun nggak akrab banget, tapi seenggaknya kita bisa mengobrol santai. Dia bisa berbagi banyak hal dengan gue. Dan gue, bisa membagi cerita gue sama dia. Bukan, bukan yang itu. Cerita tentang cinta diam-diam gue sama dia biar gue simpan sendiri.
Memikirkan ini, mengingatkan gue sama salah satu buku dari Raditya Dika. Di salah satu bab nya, ada cerita tentang bagaimana dia jatuh cinta setengah mampus sama seorang cewek. Keadaannya hampir sama, sama gue. Yang pada akhirnya, dia dan cewek itu nggak berakhir jadi apa apa. Tetap di jalannya masing masing. Karena, seperti yang sering kita dengar, ‘cinta gak bisa dipaksain’. Begitupun antara Radit dan cewek ini (Ina) gak jauh beda sama gue dan Shilla. Biar gimanapun gue mencoba membuat Shilla menyadari, ada gue disini, buat dia. Mencoba memberitahukan isi hati gue secara tidak langsung. Tapi keadaan akan tetap sama. Karena gue tau, dia hanya bisa melihat lebih jelas ke arah Rio. Bukan gue...
XXX
Yak. Itu tadi secuplik kisah gue, yang akhirnya mampu gue bagi ke kalian. Ini hanya cerita biasa, yang mungkin kalian dengar dari teman, orang tua, atau yang lainnya. Dan dari tulisan ini, gue menyadari, suka atau ehm cinta, memang bisa mengoyak batin. Kita bisa bertindak egois saat jatuh cinta. Gak ada hal yang sempurna di dunia ini. Bahkan jatuh cinta sekalipun. Tapi apa salahnya untuk terus jatuh cinta? Gak ada yang salah bila kita mencintai, sekalipun dapat menyakiti orang lain. Dan hingga saat ini, hingga nanti, gue berharap bisa terus merasakan cinta. Dan apabila cewek ini memang bukan ditakdirkan Tuhan untuk berada disisi gue, gue akan berusaha melupakan dia. Gue berharap, Tuhan mempertemukan gue dengan orang itu kelak. Karena gue yakin, pada saatnya gue akan bertemu dengan orang itu, orang yang benar benar hadir untuk gue. Yang bisa tersenyum ke arah gue, seperti Shilla tersenyum pada Rio. Yang mencintai gue tanpa syarat, dan begitupun gue ke orang itu.
****************
Terimakasiihh buat yang bersedia baca dan komen. Mohon kritik dan sarannya. Saya sadar tulisan ini emang gak ada bagus-bagusnya. Big thanks buat yang sudah baca… mohon maaf kalau tulisan ini menyinggung dan tidak berkenan dihati pembaca sekalian *bahasa gueee,, kewl*
Sekali lagi… terima kasiiihh
Langganan:
Postingan (Atom)