Jumat, 25 Maret 2011

Essay - Curhatan Buat Wali Kelasku Tercinta

Asalamualaikum.. :) di sore yang indah ini aku baru menyelesaikan sebuah essay, tugas dari wali kelasku yang diberikannya minggu lalu. aku tidak begitu mengerti bentuk permintaannya, jadilah, hanya kutulis sesuai kalimat yang bersarang indah(?) diotakku saat ini. berikut kira-kira bentuknya...

**
Namaku Tuti Hardianty. Sudah hampir setahun ini aku menempati kelas XI ipa 1. Awalnya, biasa saja. Lagipula sebagian besar siswa dikelas ini sudah kukenal sebelumnya. Aku menempati kursi nomor tiga di pojok kanan kelas. Ada yang berbeda dari kelas ini. Terasa lebih nyaman, mungkin karena penduduknya kebanyakan anak perempuan?
Aku senang berada di kelas ini. Memang, kadang ada hal menjengkelkan yang terjadi. Yah, tidak jauh jauh dari masalah sekolah, pergaulan, dan yang lain-lainnya lah. Terlepas dari itu semua, mereka semua orang orang yang menyenangkan. Kadang, saat pelajaran kosong, kami berbagi banyak hal. Misalnya, Daus yang sempat mengajari kami membuat simpul, yang ia jadikan sebuah gelang dari benang; atau kami dengan sengaja mengobrol dengan bahasa inggris. Membenarkan pelafalan satu sama lain; atau ketika kami mengobrolkan film holliwood yang baru saja rilis. Banyak hal yang kami diskusikan, banyak hal yang pernah kami debatkan. Tapi toh, kami tetap sebagaimana adanya. Tidak ada pertengkaran atau semacamnya(yang berlarut-larut).
Hanya saja, kadang sedikit kecewa saat teman-teman dikelas tidak kompak. Ada beberapa hal, tapi sudah berlalu. Tapi saat kami kompak, hal yang dilakukan malah aneh dan terkesan nakal. Poster-poster yang beberapa waktu lalu menghiasi dinding belakang kelas adalah ideku dan beberapa teman lainnya. Bahkan sempat melakukan perdebatan yang terkesan ‘nyolot’ kepada pihak Orlando dkk saat memutuskan hal apa yang bagus ditempel di dinding belakang. Namun semuanya usai saat ibu meminta agar kami melepaskannya. Kini poster-poster itu hanya bisa dikenang melalui capture-an notebook Gresia.
Kelas XI ipa 1. Aku cukup bangga melafalkan empat baris kata itu saat orang lain bertanya. Mungkin kami tak sepintar murid-murid kelas lainnya. Tapi aku bangga memiliki keluarga kecil seperti mereka. Kelas XI ipa 1 itu bagiku, seperti aroma pagi yang senantiasa merebak. Menyusup kedalam rongga hidungku hingga bersarang di paru-paru. Memberikan sensasi segar yang dalam. Membuatku yang semalam tidur dengan hati muram, kembali tenang ketika mengetahui pagi ini hingga nanti siang aku akan ada di sana, di ruangan berwarna merah bata yang ku-cat bersama mereka semester lalu. Ruangan yang kini kami hiasi dengan gorden berwarna pink, kuning, dan biru secara berurutan itu. Nampak cantik dilihat dari luar, seperti ada yang menarik untuk dilihat lebih seksama.
Kelas XI ipa 1, bagiku seperti makan pagi, yang kulakukan bersama Novie, Gresia, dan Nova hampir tiap istirahat pertama di kantin. Atau, hanya sekedar jajan. Atau juga, hal yang baru-baru ini kami lakukan. Membawa bekal dan makan bersama dikelas, menarik kursi agar makan dalam satu meja. Membagi makanan bersama, bercerita bersama. Hal yang nampak, namun tanpa kusadari rutin kulakukan bersama mereka.
Di kelas ini, cukup adil, tidak ada yang kepandaiannya sempurna untuk menjadi puncak di sini. Ada yang menguasai Kimia, namun tak sesungguhnya sempurna dalam fisika. Ada yang menguasai Fisika, namun tidak dengan bahasa asingnya. Ada yang pandai bahasa asingnya, namun terlalu lamban dalam eksaknya. Ada yang mendekati sempurna, namun ia tidak menemukan kepingan kesempurnaan di dirinya. Hal ini cukup adil, setidaknya untuk semua.
Apa yang guru berikan di kelas, berupa materi, penjelasan total(maupun tidak), contoh, dan hal-hal lain yang harus kami penuhi untuk melaksanakan kurikulum, tak begitu memberatkan buatku. Hal yang setidaknya membuatku cukup merasa paling bodoh adalah fisika, betapa aku tidak menguasai mata pelajaran ini. Entah karena aku tidak mengerti apa yang dijelaskan guru, atau hanya otakku yang terlalu lamban meresapi setiap baris rumus-rumus itu. Rasanya lebih baik aku ditelan bulat-bulat oleh sang Einstein daripada harus berhadapan dengan soal-soal itu. Aku hanya berharap kepada Tuhan agar ia memberiku sebuah keajaiban jika nanti ujian akhir semester. Agar Tuhan membisikiku rumus-rumus fisika yang dapat kugunakan untuk menyelesaikan tugas akhir di semester kedua ini-nantinya-.
Ngomong-ngomong, bisakah nanti jika ada seorang murid baru(lagi) yang akan diterima kelas ini, setidaknya anak yang sopan dan tidak seenaknya? Benar, lagi-lagi si Dede ini. Sebelum makhluk alien ini memasuki kelas, kami bertanya-tanya seperti apakah orang baru ini. Yang ada dipikiran ku adalah anak laki-laki yang memasuki kelas dengan canggung, memperkenalkan dirinya di depan kelas dengan wajah ragu, dan anggukan ramah saat kami sekelas mencoba menyapanya. Ahh, aku tidak habis pikir membayangkan hal seperti itu. Memang, hari pertama dia masuk masih belum apa-apa. Lagipula aku bukan tipe orang yang sering mengajak orang lain berkenalan lebih dulu-kecuali dalam keadaan yang dibutuhkan-. Anak ini-Dede- buak tipe teman yang cukup baik. Setidaknya tidak cukup baik sebagai orang baru. Boleh saja bersikap sengak dan menjengkelkan, asal masih bisa menghargai lawan bicaranya sebagai orang yang derajatnya sama sepertinya. Sama-sama siswa kelas XI ipa 1 SMAN 1 Murung. Dengan sangat retoris ia menolak kebijakan yang baru diterapkan kepala sekolah hari itu, saat seluruh anggota OSIS diperintahkan melakukan penertiban ke seluruh kelas(sebenarnya bukan penertiban juga, hanya memeriksa). Ia sempat berdebat dengan Fanny saat kami memintanya untuk mengganti sepatu sneakers abu-abunya pada besok hari. Dengan lantang aku menudingnya, “tempatmu bukan di sini jika hanya mengharapkan sesuatu yang kau suka. Lebih baik keluar sekarang karena aku sendiripun jengah dengan kehadiranmu” tuturku tajam(dengan bahasa yang sudah diganti, tentunya) seraya menunjuk ke depan wajahnya. Sayangnya Novie langsung menarikku, benar kata mereka, aku tak perlu repot memikirkan anak itu masih hidup atau tidak setelahnya.
Hal terakhir yang ingin saya ucapkan di tulisan panjang ini, terima kasih karena ibu telah memberikan kesempatan bagi kami sekelas untuk menuangkan pendapat kami dalam bentuk tulisan ini. Entah sudah sesuai harapan ibu atau tidak, saya sekali lagi berterima kasih. Terima kasih juga kepada ibu, selaku wali kelas kami selama ini. Memang ibu jarang masuk, memeriksa keadaan kelas kami, tapi ibu pasti tau kami bisa melengkapi kekurangan kami. Saya berharap, kelas XI ipa 1 nanti terhindar dari hal-hal yang mengecewakan bagi ibu, kepala sekolah, maupun pihak guru lainnya. Kami sadar kami belum sempurna, belum terlalu membanggakan, belum terlalu baik. Tapi saya cukup senang karena kami, setidaknya merasa lengkap.
Sekali lagi saya berterima kasih atas waktu yang ibu berikan untuk membaca kalimat-kalimat saya, hingga sampai akhir sini. Terlalu banyak hal aneh yang saya tulis ya, bu? Saya mohon maaf jika tulisan ini menyinggung bagi pihak pihak tertentu. Semua ini adalah bentuk curhatan, bukan?

Puruk Cahu, 25 Maret 2011
Tuti Hardianti
**

ehmm, ehm... agaaak...... random kali ya? tau lah, aku kalo nulis sesuatu biasanya pake emosi. semoga ibu Lusiani bersedia membaca tulisan ini dengan hati yang lapang(?) bersabarlah bu,, anak-anakmu ini memang ajaib.
sebenernya sih, ini buat guru, ya.. entah kenapa aku berniat posting. tau ah, sesuai mood aja~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar